Kucing Ungu
Suatu waktu, aku bertemu dengan kucing kecil berwarna ungu. Tapak dan
moncongnya berwarna putih, tetapi aku lebih suka memanggilnya si Ungu.
Sesekali, ia datang menghampiriku, meminta makanan kecil yang juga
tengah kukunyah. Lantas, kuberikan sedikit bagian untuknya, dengan
sedikit harapan ia akan kembali padaku di hari berikutnya.
Aku tahu, kucing liar tetaplah kucing liar. Ketika bertemu yang mau mengurusnya dengan lebih mewah dan lebih setia, ia akan meninggalkan aku. Perasaan sedih dan takut cukup bergelut di benakku, tetapi itu tidak mengurangi kepedulianku padanya.
Pertama kali aku bertemu dengannya, aku juga mengenakan kaus ungu, dan sepatu ungu. Sedang makan di pinggir jalan bersama dua temanku. Mendadak, ada benda yang menyentuh betisku, dan aku kaget bukan main. Takut-takut, serangga jahat yang biasa ada di warung pinggir jalan. Untungnya, bukan, bahkan jauh lebih baik dari itu. Kucing ungu yang manja, dengan ekor berdiri. Kalau diperhatikan baik-baik, bulu ekornya sedikit botak seperti habis disiksa. Oleh karena itu, kulilitkan pita yang juga ungu, untuk menyembunyikan cacatnya. Setiap kali berjumpa, pita itu hilang, dan kuganti dengan yang baru. Ia akan semakin bermanja padaku, tidur di pangkuanku dengan perut terbuka, menganggapnya sebagai ucapan terima kasih.
Tetapi, seperti yang kubilang, kucing liar tetaplah kucing liar. Ketika bertemu yang mau mengurusnya dengan lebih mewah dan lebih setia, ia akan meninggalkan aku. Sama seperti wanita jalang, yang tetaplah jalan. Ketika bertemu yang mau mengurus dengan lebih mewah dan lebih setia, ia akan beralih.
Wanita jalang itu aku.
Posisi Ratu Jalang yang sudah kuperoleh di bar tempatku bekerja di daerah Gading, membuatku sibuk dipanggil pejabat ini, pengusaha itu, atau lain-lainnya. Yang dulunya biasa makan di pinggir jalan dan beli rokok ketengan, sekarang lebih sering menginjakkan kaki di restoran Perancis dan menghisap ganja kualitas tinggi.
Aku masih sering bertemu kucing ungu itu. Entah bagaimana, ia menemukan di mana kost tempat aku tinggal. Menungguku di depan rumah, sampai meninggalkan kotoran yang menyebabkan aku kena marah induk semang. Aku tahu itu si Ungu. Aku suka dengan kehadirannya. Tetapi, ia tidak pernah mau bersabar. Mengapa kucing liar selalu datang lagi, datang lagi, dan datang lagi kepada mereka yang pernah berlaku baik pada mereka?
Semakin lama kupikirkan si Ungu, aku semakin jauh bercermin bahwa sosok wanita jalang seperti tak lain seumpama dirinya. Aku tidak merasa jijik sedikit pun, malah bangga memiliki tampilan yang begitu manis dan menggoda. Bahkan, tidak terlupakan. Karena, tidak kupungkiri, aku masih suka meletakkan ikan asin di depan kost, atau menitipkannya di warung pinggir jalan, tempat biasa aku bertemu dengan dirinya.
Karirku melesat sampai akhirnya terhenti karena tidak bisa menuju lebih jauh lagi. Aku terpukau dengan diriku sendiri. Mengamati pakaian dan pernak-pernik mahal hasil pekerjaan yang masyarakat bilang, tabu. Aku terbangun dari mimpi ketika mendengar suara nyaring seekor kucing. Aku tahu itu Ungu, ia memiliki bunyi yang berbeda. Suaranya sungguh berbunyi, "Meong!" seperti manusia yang sedang membaca. Segera kubuka pintu kost, dan kudapati ia berjalan pincang dengan kaki depan kanan yang terluka. Meminta pertolongan. Tepatnya, meminta pertolongan aku.
Namun ternyata, pintu kost di sebelahku terbuka. Seorang wanita yang tak lebih cantik dari aku. Mengenakan pakaian serba putih, menghampiri Ungu.
"Ya ampun, kamu habis berantem sama siapa? Lihat, kamu sampai luka begitu. Kamu itu perempuan, kenapa tidak tenang-tenang saja menunggu musim kawin, sih?" katanya. Ungu menghampiri wanita itu. Melewatiku begitu saja, dan aku ditinggal sendirian.
Dalam hatiku, kupikir lucu. Perempuan? Dia betina. Sama sepertiku. Betina. Dan karena dia betina, harusnya dia memilih untuk bersamaku. Bukan bersama wanita baik-baik yang tidak mau mengenal wanita jalang.
Dasar kucing liar. Betina liar. Begitu bertemu yang lebih cakap, aku ditinggalkan.
Oh, sungguh. Kelakuannya persis seperti aku. Seperti jalang, yang--memang--liar, dan bersedu di pinggir jalan. Menunggu uang dan loyalitas pelanggan.
***
Selang beberapa waktu setelah hari itu, aku bertemu lagi dengan dirinya lagi. Menungguku di warung makan di pinggir jalan. Tempat pertama kali kami berjumpa. Teman-teman seprofesiku mengatakan bahwa aku harus bicara dengannya. Aku tahu itu hanya caci maki belaka, tetapi aku memberanikan diri bicara dengannya. Di hadapan banyak orang yang mungkin akan menganggapku gila.
"Kemari," ucapku padanya. Seolah mengerti, ia menghampiriku. Duduk di depanku dengan rapi. Dengan pandangan lurus dan ekor yang melingkari kakinya. Aku melilitkan pita di bagian ekornya yang cacat, seperti biasa. Ditambah dengan pita hitam di lehernya. "Kuberikan ini untukmu. Dan, jangan datangi aku lagi. Kecuali suatu hari, kamu dapati aku dengan pakaian ungu dan sepatu ungu yang kugunakan ketika pertama kali berjumpa," kataku seraya menunjuk pakaian dan sepatu yang kukenakan, dan warna bulu si Ungu untuk menjelaskan. Harusnya aku mengerti kalau ia tidak mungkin paham, tetapi tetap saja kulakukan.
Si Ungu menunduk. Menjilat tanganku. Lalu pergi. Aku pun bangkit, membayar pesananku, hendak menuju bar. Waktunya bekerja.
***
Setelah lewat dua hingga tiga bulan, aku masih bertemu si Ungu. Tetapi ia tidak menyapaku. Hanya melirik, lalu membuang muka. Tetapi aku tahu bahwa ia menungguku. Karena meski pun si wanita suci, tetangga sebelahku, memanggilnya untuk mengajak makan, ia tidak menghiraukan. Ungu tetap setia menungguku di depan kost. Seperti biasa, sesekali meninggalkan kotoran. Aku akan membersihkannya dengan segan, berharap ia akan kembali menungguku. Aku suka ia menungguku.
***
Sekali waktu, sepulang habis bercinta, rumahku porak poranda. Seluruh pakaianku dicabik. Perhiasanku terpencar ke mana-mana. Cerminku pecah. Meja rias kebanggaanku berantakan. Spreiku ditusuk. Pisaunya tertinggal dalam keadaan tertancap. Pylox tersisa di dinding kost, berbunyi, Kembalikan suamiku!
***
Waktunya bekerja. Tepatnya, bekerja dengan kehilangan pekerjaan. Aku dipecat dari bar karena dianggap tidak profesional dalam menangani pelanggan secara personal. Tidak ada kerlap-kerlip yang menyinariku lagi, baik neon, lampu disko, atau khayalanku sendiri.
Kata bosku, aku harus kembali kalau-kalau tidak ada lagi yang mengenali diriku. Lahir menjadi orang baru. Kupikir aku akan melakukannya. Dan memang kukabulkan keinginannya, karena aku tidak mau lagi hidup miskin. Aku mengubah wajahku sedemikian rupa dengan operasi plastik. Lebih jelek dari aku yang sebenarnya, karena aku yang nyata tidak bisa ditandingi kecantikannya. Aku benci ini..
Aku mengubah gaya pakaianku. Tidak ada lagi kesempatan untuk kukenakan pakaian berwarna ungu, apa pun itu. Setelah kupelajari, ternyata ungu adalah simbol perceraian orang Cina. Juga berarti kemurungan, di balik pernyataan yang bilang bahwa ungu adalah kemewahan.
Ungu adalah warna jalang. Warna kucing liar.
Si Ungu tidak lagi mendapatiku di kost. Tetapi ia masih bisa mencariku di pinggir jalan. Aku tahu itu. Aku merindukannya, sehingga aku berbalik mencarinya. Kami bertemu dan saling memandang. Anehnya, ia tidak menghampiriku.
Aku memanggilnya berulang-ulang, "Ungu, Ungu," tetapi tidak ada jawaban darinya. Tidak ada lafal, "Meong!" seperti yang diucapkan seolah oleh manusia. Padahal dia menungguku. Aku yakin dengan segenap hati, akulah yang ia tunggu. Aku mencoba meraih dirinya, mengelus setiap gerik tubuhnya, tetapi reaksinya dingin dan menolak dengan enggan. Matanya miris, seperti ingin bertemu dengan diriku. Kuyakinkan padanya bahwa aku adalah aku, tetapi ia tidak mau mengerti..
***
Si Ungu tetap menunggu. Lama kelamaan, aku ragu apakah itu aku. Aku mulai membencinya karena itu. Kucing liar berwarna unik itu persis wanita jalang. Yang memainkan pelanggan dengan gaya misterius. Apakah memang diminati, atau tidak. Apakah akan dipanggil, atau tidak. Apakah akan diajak bercinta, atau tidak. Ia, hanya seperti aku.
***
Aku tidak bertemu Ungu lagi. Ia membuangku. Sama seperti aku yang memuntahkan isi mulutku setelah oral. Mungkin ia kecewa padaku. Aku tidak menepati janji. Aku yang bilang padanya untuk kembali padaku dengan busana yang telah kujanjikan. Tetapi aku tidak bisa kembali ke masa itu, karena wajahku pun tidak kembali dan aku sudah melupakan masa lalu.
Aku pun berpisah dengan kucing ungu itu.